Rabu, 13 Agustus 2008

ARUK Tolak Kriminalisasi Terhadap Pegiat HAM

ARUK
(Aliansi Rakyat Untuk Keadilan)
LaPAK, FPRM, MASKOT, Kaukus Muda Progresif Kota Langsa, CSC,FRAT, KPA Kota Langsa, Yayasan Bustanul Fakri, SRB, Dosen Fakultas Hukum, SEUPAKAT,
PAS, FORMED, HMI Komisariat Tarbiyah STAIN COT KALA, Sheep, Kontras Aceh Timur, Gepegom, JKMA Suloh, PeLKid



Kepada Yth;
Wartawan Media Cetak dan Elektronik
Di_
Tempat


Pers Release ;



Aliansi dari LSM, Organisasi Masyarakat, Mahasiswa dan Akademisi yang tergabung di ARUK yang merupakan perwakilan dari berbagai elemen sipil yang berdomisili di Aceh Tamiang, Kota Langsa dan Aceh Timur yang sampai saat ini menginginkan agar penegakan supremasi hukum di Aceh pada khususnya serta Indonesia menjadi lebih baik.
Berawal dari adanya persoalan konflik pertanahan antara masyarakat tani di Aceh Timur dengan PT.Bumi Flora, salah satu dari bentuk perjuangan kasus dari adanya konflik pertanahan itu pada tanggal 3 Juli 2007 + 3000-an massa korban konflik pertanahan yang tergabung dalam FORJERAT (Forum Perjuangan rakyat Atas Tanah) melakukan aksi massa damai dengan sasaran menemui Bupati dan DPRK Aceh Timur untuk mengadukan persoalan dan meminta penyelesaian konflik pertanahan secara prosudur hukum dalam semangat bersama menjaga perdamaian di Aceh tercinta.

LBH Banda Aceh sebagai kuasa hukum penyelesaian konflik pertanahan dari organisasi FORJERAT, mengawali dengan melakukan upaya advokasi nonlitigasi berupa aksi massa, namun kemudian upaya ini memberi dampak dikriminalisasikannya 8 orang pekerja LBH Banda Aceh, yang mana telah dianggap melakukan Penghasutan di muka umum serta diadili dalam persidangan Pengadilan Negeri Langsa.
8 orang pekerja LBH Banda Aceh dijerat dengan dakwaan Primeir Pasal 160 jo 56 ke 1 dan 2 KUHP dan Susidair Pasal 161 jo 56 ke 1 dan 2 dengan ancaman hukuman 4 tahun hingga 6 tahun penjara. ”Pasal yang digunakan itu adalah pasal hatzai artikelen atau yang sering disebut pasal karet warisan produk hukum jaman kolonial”.

ARUK (Aliansi Rakyat Untuk Keadilan) menyayangkan banyak waktu yang terbuang (mubazir) dengan adanya rutinitas dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Langsa dari dampak kriminalisasi 8 pekerja LBH, hal ini dianggap sangat tidak produktif, seharusnya waktu dalam rutinitas persidangan itu dapat dimanfaatkan untuk kerja-kerja pelayanan bantuan hukum terhadap rakyat miskin.

Dampak dari kriminalisasi, adalah pembungkaman terhadap penggiat HAM, pembungkaman terhadap penggiat HAM adalah gaya pemerintahan Rezim Orde Baru, kita yang tergabung di ARUK sangat menyesalkan adanya bentuk Kriminalisasi ini. ARUK merasakan saat ini belum adanya kesunguh-sunguhan dari Institusi Negara yang seharusnya mengikuti semangat Reformasi dan perjanjian damai RI dan GAM.

Peran negara yang seharusnya menghargai dan melindungi rakyat dalam Kebebasan Mengeluarkan Pendapat seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (2) dan (3), pasal 28 F dan UU No 9 Tahun 1998 Tentang Mengeluarkan Pendapat Di Muka Umum. kita rasakan kebijakan negara terkesan masih sangat mencerminkan kondisi negara yang otoriter, anti demokrasi dan belum berpihak pada penyelesaian persoalan rakyat kecil (Grass Root).

Pada hari kamis tanggal 14 Agustus 2008 mendatang di Pengadilan Negeri Langsa merupakan agenda pembacaan putusan akhir terhadap 8 orang pekerja LBH Banda Aceh yang mana sebelumnya Jaksa Penuntut Umum melalui persidangan tuntutan, menuntut agar 8 orang pekerja LBH Banda Aceh ditahan selama 3 bulan penjara serta membayar segala biaya perkara.

ARUK sangat menyanyangkan apabila pada putusan persidangan 14 Agustus 2008 mendatang, Majelis Hakim sampai memutuskan memberikan sangsi hukum terhadap 8 orang pekerja LBH Banda Aceh. Hal ini dianggap dapat memberi dampak presedent buruk terhadap perkembangan proses demokratisasi serta bukan tidak mungkin juga bisa menghambat kerja-kerja Advokasi rakyat yang selama ini dilakukan oleh teman-teman penggiat HAM lainnya yang ada di Aceh khususnya dan di Indonesia.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Langsa, 13 Agustus 2008
Koordinator ARUK Juru Bicara ARUK


Julfri Darwis

Selasa, 12 Agustus 2008

Apapun Hasil Putusan Akhir Persidangan 8 Orang Terdakwa Pekerja LBH Banda Aceh, FORJERAT Tetap Tuntut “Joek Pulang Tanoh Kamoe” (Kembalikan Tanah Kami

FORJERAT
(Forum Perjuangan Rakyat Untuk Tanah)
Jl. Irigasi, Dusun Buket Kawah, Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam
Aceh Timur


Kepada Yth;
Kawan-kawan Media Cetak dan Elektronik
Di –
Tempat.

Pers Release

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan Hormat,
Kami masyarakat korban penyerobotan tanah oleh PT Bumi Flora yang tergabung dalam organisasi FORJERAT (Forum Perjuangan Rakyat Untuk Tanah), merasakan adanya keanehan dalam proses penerapan hukum di daerah ini. Adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Bumi Flora, seharusnya pihak aparatur hukum melakukan penyelidikan terhadap dugaan tersebut agar jelas titik persoalannya sehingga ditemukanlah sebuah fakta pelanggaran hukum.

Persoalan pelangaran HAM banyak terjadi di Aceh semasa konflik, Kabupaten Aceh Timur salah satunya daerah yang terparah atas imbas konflik yang terjadi. Daerah kami juga menjadi salah satu daerah yang terkena imbas konflik. Pada tahun 1990-an, merupakan awal terjadinya penyerobotan tanah tempat tinggal dan tanah tempat kami untuk mencari nafkah. Berbagai upaya telah kami lakukan agar tanah kami tidak diambil. Tanah tersebut merupakan tempat kami lahir dan tempat untuk membesarkan anak-cucu kami kelak di kemudian hari.

Berbagai macam cara telah dilakukan oleh PT Bumi Flora untuk merampas tanah kami. Mereka telah menggunakan cara-cara intimidasi dan teror, yang bertujuan agar kami masyarakat mau melepaskan tanah kami untuk kepentingan pengadaan lahan perkebunan PT.Bumi Flora. Bahkan, tiga orang masyarakat kami yang tergabung dalam organisasi Berdikari meninggal dunia karena berusaha keras untuk mempertahankan tanah. Pertanyaannya kemanakah kami harus mengadu pada saat konflik? Tidak ada sikap lain pada saat itu selain hanya pasrah dan berdiam diri.

Kami sebagai masyarakat yang awam akan ilmu hukum, tentunya di masa yang telah damai, kami harus mengadukan persoalan penyerobotan tanah yang telah terjadi ini kepada pihak yang mengerti hukum. YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh merupakan sebuah lembaga yang kami kenal sebagai lembaga yang mengerti hukum dan siap menampung berbagai persoalan-persoalan hukum yang terjadi. Karenanya, pilihan kami adalah melaporkan dan meminta bantuan hukum terkait penyerobotan tanah kami kepada lembaga ini.

Kami sebagai warga masyarakat korban penyerobotan tanah yang tergabung dalam FORJERAT menyambut baik, setelah kami melaporkan kasus, YLBHI-LBH Banda Aceh langsung terjun ke lapangan untuk melakukan pencarian bukti-bukti tentang adanya penyerobotan tanah yang pernah terjadi.

Masyarakat yang sebelumnya memiliki cara dalam penyelesaian masalah dengan mengambil alih kembali tanah yang telah diserobot oleh PT. Bumi Flora dengan sadar hal tersebut punya potensi terjadinya kekerasan. Ketika kasus ini didampingi oleh YLBHI-LBH Banda Aceh, masyarakat diarahkan untuk berpikir rasional agar tetap mengunakan cara-cara perjuangan yang tidak melawan hukum. Kesepakatan bersama kita menggunakan langkah litigasi dan non-litigasi. Anehnya, dalam proses penyampaian aspirasi lewat aksi massa damai FORJERAT pada tanggal 3 juli 2007 dengan sasaran Kantor Bupati dan DPRK Aceh Timur, 8 pekerja YLBHI-LBH Banda Aceh dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian Resort Kota Langsa dengan tuduhan telah melakukan penghasutan di muka umum. Kriminalisasi terhadap 8 pekerja ini jelas-jelas menjadi pukulan bagi kami, karena mereka sedang memperjuangkan aspirasi kami.

Kami merasa dengan dikriminalkan 8 pekerja YLBHI-LBH Banda Aceh sebagai kuasa hukum masyarakat korban, semakin tidak jelas penyelesaian kasus penyerobotan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Flora. Kami mengkhawatirkan kasus penyerobotan tanah akan terpendam seiring dengan adanya kriminalisasi terhadap kuasa hukum kami. Ketidakjelasan dalam penyelesaian kasus penyerobotan tanah oleh PT Bumi Flora merupakan awal kekalahan rakyat dalam perjuangan mendapatkan hak atas tanahnya kembali.

Saat ini mereka sedang tersangkut dalam persoalan hukum dengan status sebagai terdakwa, dan tepat pada hari kamis, tanggal 14 Agustus 2008 esok merupakan hari penentuan bagi 8 pekerja YLBHI-LBH Banda Aceh. Kami masyarakat korban penyerobotan tanah yang tergabung dalam FORJERAT berharap keadilan masih berpihak kepada rakyat lemah dan miskin. Bila hukum memberikan keadilan untuk rakyat lemah, semestinya yang duduk di kursi persidangan adalah PT Bumi Flora beserta kroninya karena mereka yang telah menyerobot tanah kami.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Idi Rayeuk, 13 Agustus 2008
Wakil Ketua Umum FORJERAT Sekretaris



Tgk. Idris A.Manaf M. Ali Daud

Untuk konfirmasi
Contact Person : Tgk. Idris A.Manaf (085262820995)

Minggu, 20 Juli 2008

Homo Homini Lupus

(sebuah Refleksi HAM di Aceh)

oleh : Zul Azmi, S.H.

.Negara menurut teori Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Hobbes menilai bahwa negara dibutuhkan perannya yang besar agar mampu mencegah adanya “homo homini lupus” atau manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Hobbes memunculkan teori ini karena di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya peran negara untuk mencegah ini..

Apa yang telah dikemukakan oleh Thomas Hobbes masih sangat relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Masa konflik atau saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, merupakan masa yang paling suram terhadap supremasi hukum di Indonesia. Masa ini merupakan masa terjadinya pelanggaran HAM baik itu pelanggaran Hak-hak sipil dan Politik (Sipol) maupun pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Penghilangan nyawa secara paksa, pembunuhan diluar prosedur hukum, dan penyiksaan adalah telah dilanggarnya Hak-hak Sipil dan Politik.

Namun di balik itu, ternyata situasi konflik telah dimanfaatkan oleh golongan yang berwatak kapitalis untuk melangsungkan kepentingan ekonominya. berbagai macam dalih dan alasan yang digunakan untuk meloloskan kepentingannya. Dengan dalih Developmentalisme, situasi konflik makin memuluskan kepentingan mereka untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dengan memanfaatkan birokrasi dan kekuatan bekingan, golongan kapitalis yang berwujud dalam simbol perusahaan, telah menjadikan Aceh sebagai lahan eksploitasi yang sangat strategis. Tidak peduli prosedur hukum dan kemanusiaan, yang terpenting hasrat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya harus bisa diwujudkan. Itulah kekejaman, keburukan dan kejelekan dari kapitalisme yang saat ini bermetamorfosis dengan berbagai bentuk yang lainnya.

Penyerobotan tanah dan upaya pengambilan tanah secara paksa dari masyarakat ternyata persoalan yang sudah lumrah terjadi di masa konflik. Masyarakat yang sadar untuk membela hak-haknya, namun apa daya, masyarakat terpaksa harus diam dan pasrah menerima realitas yang terjadi. Lantas di manakah para pejuang demokrasi dan pegiat HAM saat itu? Jawabannya kembali dengan sebuah pertanyaan, siapa yang sanggup menghadapi kekuatan bedil dan kekuatan birokrasi yang terstruktur? jawabannya adalah ajal akan menjemput bagi siapa saja yang berani untuk menghadang.

Wal hasil, kapitalis semakin tidak ada hambatan lagi untuk untuk melakukan eksploitasi ekonominya di Aceh. Kekuatan-kekuatan pemrotes, kekuatan-kekuatan penghambat lainnya mampu dibungkam dengan aliran dana untuk membela dan melanggengkan kepentingan mereka

Adanya Akademisi, adanya aktivis HAM dan tokoh-tokoh yang memiliki idealisme juga tidak bisa berbuat banyak terhadap realitas yang terjadi. Ibarat tikus dalam mulut ular, meronta-ronta namun tetap jua tidak berhasil melepaskan diri. Pelanggaran HAM terus berlangsung selama 10 tahun di Aceh.

Tatkala rezim yang paling ditakuti hancur, sesaat itulah riak-riak perlawanan dikumandangkan. Saat itulah mulai muncul keberanian rakyat untuk menyuarakan berbagai kebobrokan, kebohongan dan kekejaman rezim yang berkuasa. Rakyat kemudian menghendaki adanya perubahan yang signifikan.

Rezim otoritarian telah berganti, namun kita tidaklah harus hidup dalam euforia yang berkepanjangan. Masih banyak pekerjaan, masih banyak hal yang harus dirubah. Perubahan tidak akan datang dengan hanya berharap turun dari langit, perubahan perlu kita lakukan. Teringat dalam sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi “tidaklah Kami ubah nasib sesuatu kaum, sebelum mereka sendiri yang mengubahnya.”

Saat ini Aceh telah damai, tentunya banyak yang selalu mengatakan Aceh telah damai, jadi lupakan semua kejadian di masa konflik karena bila diingat akan berpotensi kembali terjadinya konflik. Rasa-rasanya ada benar juga apa yang dikatakan oleh mereka itu. Namun, perlu kita kritisi kembali sebenarnya bagaimana konsep melanggengkan perdamaian itu?

Teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca dengan Judul “Pantat Bangsaku”, dalam buku itu tersirat bahwa bangsa Indonesia dengan mudahnya melupakan sejarah kekejaman masa lalu dan sejarah bobroknya pemerintahan. Semenjak membaca buku itu saya kembali teringat haruskah saya melupakan kekejaman yang terjadi di masa lalu?

Aceh yang masyarakatnya sangat kental dengan Syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat akrab dengan kitab-kitab kuning. Dalam masa duduk di pesantren tradisional, selalu terngiang-ngiang akan hukum Islam terkait dengan pembunuhan. Dijelaskan oleh Teungku (guru ngaji) bahwa hukum membunuh dalam Islam adalah nyawa dibayar dengan nyawa kecuali bagi pihak korban/ahli waris mau menerima damai dengan syarat dibayarnya diyat (ganti kerugian).

Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang bertugas untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM di Aceh, akan dibentuk secara khusus sesuai dengan amanah UU No.11 Tahun 2006. Namun bagaimana nasib UU KKR setelah dijudicial review oleh Mahkamah Konstitusi? semuanya belum ada kepastian hukum terhadap dua lembaga tersebut yang akan dibentuk di Aceh.

Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan persoalan integrasi, dalam prakteknya juga menuai berbagai masalah.

Pekerjaan-pekerjaan di atas merupakan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan melalui aparaturnya. Baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah Aceh sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap penyelesai persoalan hukum dan HAM di Aceh. Damai itu indah bila penjahat HAM diadili, damai itu indah bila persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan pemenuhan HAM terhadap rakyat sebagai warisan dari zaman konflik bisa diselesaikan. Jika tidak, kembali kita mengacu pada pendapatnya Thomas Hobbes Homo homini lupus artinya manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, apakah negara bisa mencegah manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya? atau justru negara yang menjadi serigala bagi rakyatnya yang lemah.

Penulis : Zul Azmi, S.H
(Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Korban DOM Aceh (IMKDA)Yogyakarta)

Sabtu, 19 Juli 2008

Jurnalisme Transformatif

Oleh : Zul Azmi

Jurnalisme berasal dari dua kata yaitu jurnal dan isme. Jurnal adalah segala bentuk kegiatan yang berkenaan dengan tulisan. Sedangkan isme adalah suatu paham jadi, jurnalisme adalah paham/kegiatan yang berkaitan dengan tulis menulis. Dewasa ini, jurnalis dimaksudkan bagi mereka yang berprofesi sebagai orang yang memberitakan kembali suatu peristiwa atau kejadian.

Tidak hanya itu orang yang sering menulis artikel atau opini di media massa juga dapat dikatakan sebagai jurnalis. Jurnalis adalah merupakan salah satu profesi yang sangat penting dan sentral. Orang yang berprofesi sebagai jurnalis disebut sebagai wartawan, yaitu mereka yang bekerja pada perusahaan yang bergerak dalam bidang pemberitaan.

Pers sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Karena sentralnya perusahaan pers, sehingga menyebabkan perhatian pada lembaga ini sangat kuat oleh publik. Pemerintah khususnya pada masa Orde Baru berusaha untuk mengintervensi pers agar dalam pemberitaannya tidak menyudutkan pemerintah. Pers pada saat itu ada dalam bayang-bayang pembredelan bila tidak mengikuti kemauan pemerintah.

Salah satu syarat negara demokrasi adalah adanya kebebasan pers, namun pers yang bebas bukan berarti kehilangan kendali. Banyak orang yang selalu mewacanakan agar harus independen dan tidak memihak. Namun, dalam realitas kita temukan pers tidak bebas dari kepentingan dan keberpihakan. Jika pun demikian, kepada siapakah pers harus berpihak? Penguasa, pemilik modal, atau kepada sebagian golongan. Untuk hal ini penting untuk diperhatikan dalam rangka untuk mewujudkan negara demokrasi yakni pers yang bebas dari intervensi pemerintah, sebagian golongan dan pemilik modal.

A. Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia

Pada dasarnya ada tiga macam bentuk Pers di Indonesia, yaitu Pers Belanda, Pers Melayu-Tionghoa dan Pers Indonesia. Pers Belanda pada masa penjajahan colonial, sudah tentu berorintasi pada kepentingan Eropa dan pemerintahan colonial Belanda. Ia menutup mata bagi keadaan dalam masyarakat Indonesia, bahkan untuk mengetahui apa yang terdapat dalam Pers Indonesia saja dirasa tidak perlu.

Kantor Berita ANETA memegang peranan yang kuat dalam dunia jurnalis di Indonesia pada masa colonial, monopoli surat pemberitaan. Kantor berita ini menjadi kuat karena didukung oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Selama perang Dunia I, ANETA melayani berita-berita penting dari medan pertempuran dalam waktu 24 jam setelah peristiwa terjadi, walaupun kemudian diadakan blockade terhadap berita-berita perang.

Kedua, adalah Pers Melayu-Tionghoa. Pers ini berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat tionghoa akan berita. Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang sebagian besarnya adalah masyarakat yang makmur, sehingga banyak pengusaha-pengusaha yang butuh akan Pers untuk pasang iklan di media surat kabar. Golongan ini, yang merupaka golongan yang lebih makmur daripada golongan bumiputra, dengan sendirinya merupakan pelanggan surat kabar yang mampu membayar langganan dengan teratur. Modal yang menjadi syarat usaha percetakan dan penerbitan pun mudah didapat bagi usaha pers, baik melalui ikatan keluarga maupun dunia usaha.

Ketiga, adalah Pers Indonesia berdiri pada tahun 1907 yang bernama Medan Prijaji yang merupakan suara golongan priayi. Media ini dipelopori oleh RM Tirtoadisuryo dan pada tahun 1910 media ini terbit setiap hari, sebelumnya media ini hanya terbit seminggu sekali (mingguan). Media pribumi ini adalah media yang acapkali mengkritik terhadap pemerintahan Hindia-Belanda sehingga tokoh pendirinya pernah dibuang ke Lampung karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa.

Tirtohadisuryo adalah merupakan pelopor Pers pribumi di Indonesia. Pers Indonesia lahir karena semangat untuk mengimbangi media-media terbitan lain seperti media terbitan melayu-Tionghoa, serta media terbitan Belanda. Pada masa mudanya, tirtoadisuryo bekerja pada media yang dimilki oleh orang-orang Belanda.

B. Pengertian Jurnalisme Transformatif

Jurnalisme Transformatif adalah adalah paham jurnalis untuk membuat perubahan. Semangat jurnalisme transformative ini pertama sekali diperkenalkan oleh Tirtoadisuryo atau sebutan Minke dalam karya Pramodya Ananta Toer. Tidak banyak orang yang mengenang dan menampilkan tirto adisuryo, hanya Pram yang sempat menulis tentang Adisuryo. Semangat Tirtoadisuryo untuk membangun nasionalis masyarakat Indonesia akan realitas yang terjadi, membuat para pimpinan pemerintahan Belanda menjadi bergeming. Medan prijaji, Koran yang dididirikan olehnya, pernah mendapat penggrebekan oleh colonial Belanda.

Tirtoadisuryo melihat realitas masyarakat pribumi yang masih ketinggalan daripada masyarakat golongan Tionghoa dan Belanda, tergerak keinginannya untuk melakukan perubahan masyarakat melalui medianya. Koran yang ia dirikan menjadi Koran yang mempelopori pergerakan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda. Meskipun korannya sempat kehabisan modal dalam gerak usahanya, namun ia tetap mengobarkan semangat perubahan pada masyarakat pribumi. Selain tirto, jurnalis yang mengobarkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia adalah Douwes Dekker, mekipun ia adalah keturunan Belanda, namun memiliki peranan membela masyarakat pribumi melalui media.

C. Peranan Media Massa
Media sangat berpengaruh besar dalam menciptakan pola piker masyarakat. Selain itu media dapat berfungsi sebagai media untuk mengkampanyekan, informasi, pendidikan dan perubahan pada masyarakat. Syarat dari Negara Demokrasi adalah adanya kebebasan Pers, namun bukan kebebasan yang tidak terbatas.

Pers berfungsi sebagai “anjing penjaga”, peran social yang tinggi sehingga mampu mengkontorl kebijakan-kebijakan Negara yang tidak berpihak pada masyarakat. Namun, ditengah pengaruh globalisasi dan konsumerisme yang tinggi, peran Pers banyak yang beralih dari fungsi sosialnya.

Kepentingan akan modal dan mendapatkan keuntungan dari usaha Pers adalah merupakan wujud dari adanya pergeseran dari nilai-nilai perubahan seperti yang dinginkan oleh masyarakat. Pengaruh dan tekanan dari penguasa juga menjadikan Pers seolah menjadi “macan ompong” dalam geraknya.

Inilah sebabnya sebagian Pers Mahasiswa masih tetap memandang jurnalisme transformative sebagai media alternative untuk masyarakat. Jurnalis yang ingin mewujudkan perubahan pada masyarakat. Pers mahasiswa melalui jurnalisme trnsformatif berperan untuk meneruskan cita-cita perubahan tersebut. Bargaining position Pers Mahasiswa sangat kuat, karena ia tidak di “setir” oleh pemilik modal.

Dasar-Dasar Corel Draw

Oleh; Zul Azmi

Program Corel Draw adalah sebuah program yang digunakan oleh para desainer untuk membuat gambar-gambar yang bentuknya tidak hidup. Berbeda halnya dengan Photo Shop yang diolah adalah merupakan foto-foto yang bentuknya hidup (foto asli yang diolah).
Corel Draw sangat menarik untuk dinikmati, oleh karena itu kebiasaan bertahan lama di depan komputer adalah merupakan kunci dalam pengembangan skill untuk menguasai program ini.

Corel Draw adalah program yang digunakan oleh orang untuk membuat poster-poster, logo, kop surat, dan lain sebagainya. Corel Draw sangat menarik untuk dinikmati asalkan mereka punya keinginan dan bakat dibidang seni. Selain itu kuncinya dalam mempelajari Corel Draw adalah dengan keaktifan mereka untuk terus melatih pelajaran-pelajaran dasar yang telah dikuasainya. Intinya adalah jangan takut untuk mencoba dan teruslah membuat karyanya dengan materi-materi dasar yang telah dipelajari. Pengembangan skill ini akan didapatkan terus bila ada kemauan dari mereka. Kendala yang harus dihadapi oleh desainer adalah menghilangkan sifat kebosanannya. Jadi perlu dinikmati saja hasil yang telah dikerjakan meskipun belum bagus bentuknya.

Kelebihan dari Corel Draw adalah program ini tidak akan membuat Image gambar pecah meskipun dibesarkan sesuai dengan keiginan kita. Berbeda halnya dengan Photo Shop yang harus diperhatikan terus image size nya. Karena bila image size nya ketika di save berukuran kecil, maka ketika diolah untuk diperbesar maka gambar akan mengalami kekaburan (pecah). Bila anda mengambil gambar-gambar dari internet, maka perlu diperhatikan image size nya. Karena ukuran gambar tidak akan dapat dipaksakan untuk diperbesar bila dasar imagenya berukuran kecil.
Kuncinya disini adalah dengan terus mencoba membuat desain Corel Draw. Teori-teori yang banyak dikuasai akan mudah lupa bila kita tidak melakukannya. Oleh karena itu teruslah mencoba dan mencoba. Dan selanjutnya mari kita mempelajari dasar-dasar dan teknik dari corel draw secara praktis dan mudah untuk dikuasai. Selamat mencoba.

Pengolahan Teks
- pemilihan teks; teks sangat mempengaruhi indah dan buruknya hasil yang kita buat. Pemilihan teks dibutuhkan ejelian dan rasa estetik yang tinggi. Kita harus mampu membedakan teks yang sifatnya formal dan tidak formal. Karena perlu pemilihan teks yang baik. Caranya lihat menu teks pada tool bar dan disana sangat banyak tersedia jenis font nya. Pilih salah satu font yang menarik dan sesuai dengan keinginan.
- pewarnaan teks; pewarnaan teks sangat penting untuk keindahan teks yang akan kita gambar, silahkan pilih warna untuk teks pada layar di sebelah kanan. Pewarnaan teks juga dapat di lakukan dengan fountaine fill dialog pada layar sebelah kiri.
- pemakaian outline pada teks, penghilangan outline dan pewarnaannya; teks pada dasarnya sudah memiliki outline namun kita juga dapat menghilangkan outline pada teks. Ukuran outline juga dapat kita pilih sesuai dengan keinginan kita. Kita juga dapat merubah warna outline sehingga memperindah bentuknya.
- penggabungan teks dengan image; sebuah teks dapat kita rubah warnanya dengan warna image yang ada. Caranya import sebuah image dan aktifkan image tersebut, kemudian klik menu effect dan pilih power clip dan kemudian akan muncul tanda panah besar. Select tanda panah tersebut pada teks yang telah dibuat sebelumnya.
- memblurkan teks; memblurkan teks adalah membuat efek blur (remang-remang) pada teks caranya adalah ubah terlebih dahulu warna teks yang sebelumnya CMYK menjadi RGB. Setelah itu buka menu bitmap dan pilih blur kemudian pilih jenis blur yang akan dikehendaki serta radius blurnya.
- penggandaan teks; caranya adalah dengan mengcopy teks sehingga banyak jumlahnya sesuai yang kita inginkan. Caranya select teks tersebut dan pindahkan ketempat lain dan tekan mouse bagian kanan
- effect teks; disini kita dapat membuat beberapa effect pada teks seperti efek amplop, countur dll.
- pengolahan teks dengan shape tool; ini berfungsi untuk membuat bentuk teks olahan teks sesuai dengan yang kita harapkan
- fit text to path; berfungsi untuk membuat tata letak teks mengikuti garis atau lingkaran yang kita buat, caranya buat sebuah teks lalu buat sebuah garis yang bengkok dan aktifkan teks lalu tekan menu text dan pilih fit text to path
- teks dengan add perspective; bertujuan untuk membuat pengaturan kemiringan teks dan frame nya
- efek mirror teks; teks dapat dibalikkan dan efek kaca dari suatu teks
- penimpaan teks
Penggenalan alat-alat Kerja
- Trim; digunakan untuk memotong object dengan object yang berada di atasnya.
- Weld; berguna untuk menggabungkan beberapa object menjadi satu object
- Intersect; hampir sama dengan trim berguna untuk object hasil potongan dengan object yang lain.
- Group; menggabungkan beberapa object menjadi Satu
- Un group memisahkan object yang telah tergabung
- Free hand tool; digunakan untuk menggambar object dasar
- Shape tool; digunakan untuk pembengkokan dari object
- Zoom tool; untuk membesarkan object
- Drop shadow tool; digunakan untuk membuat bayangan pada object
- Transparency tool; digunakan untuk membuat efek transparan (terang) pada object
- Interactive countour tool; digunakan untuk membuat efek countour pada object
- Out line tool; digunakan untuk membuat outline pada object
- Fiil tool; digunakan untuk pewarnaan pada suatu object

Sulitnya Memperoleh Keadilan bagi Rakyat Miskin

Oleh; Zul Azmi

Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lainnya di dalam suatu tempat dan wadah yang bernama masyarakat. Semenjak dahulu kala manusia telah melakukan interaksi social antara seseorang dengan lainnya, ataupun antara suatu klan dengan klan lainnya. Masa yang paling sederhana sejarah interaksi manusia adalah pada fase primitive. Masa ini meskipun sifatnya masih sangat sederhana namun manusia telah melakukan interaksi antar satu dengan lainnya untuk mencapai kepentingan masing-masing.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menjadikan multi kepentingan bagi masyarakat. Kebutuhan pada manusia juga semakin beragam. Pada fase primitif kebutuhan dan kepentingan manusia masih sangat sederhana, namun fase selanjutnya manusia telah mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.

Dalam perkembanagan sejarah kehidupan manusia selanjutnya, ditemukanlah berbagai ketimpangan-ketimpangan yang muncul dari perbedaan kepentingan. Karena itu muncullah peraturan-peraturan yang sifatnya mengatur dan melindungi. Ini merupakan bentuk kesadaran manusia yang tertinggi untuk menghargai kepentingan orang lain. Dikarenakan sudah memiliki beragam kepentingan, maka ilmu pengetahuan memberikan kesadarana bagi manuisia untuk menghargai dan menghormati kepentingan-kepentingan orang lain meskipun berbeda.

Kemunculan Negara, merupakan sebagai salah satu latar belakang utuk kepentingan melindungi manusia yang lemah. Menurut Thomas Hobbes manusia merupakan serigala bagi manusia yang lain. Argument Hobbes merupakan suatu realita pada saat itu dimana ia melihat manusia yang lemah ditindas oleh manusia yang lebih kuat. Karenanya Negara dibutuhkan untuk melindungi manusia-manusia yang lemah. Perlindungan bagi manusia dilaksanakan melalui alat negara dengan menciptakan peragkat hukumnya. Masyarakat yang tertinggal secara ekonomi merupakan piak yang lemah dalam dialektika kehidupan.

Merujuk pada fase perkembangan ekonomi dan politik, dapat kita lihat kelas yang paling lemah adalah kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Kemunculan teorinya Adam Smith dan David Ricardo melalui Wealth of Nation merupakan salah satu akibat munculnya kesenjangan ekonomi. Teori liberalisasi yang diinginkannya menciptakan kondisi manusia harus melakukan kompetisi dengan lainyya dalam kepentingan ekonomi.

Karl Marx muncul dengan gagasan teori sosialisme, yang mengkritik teorinya Adam Smith menyatakan bahwa kompetisi telah membawa proses kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi bagi masyarakat. Letak masalahnya adalah pada penguasaan alat-alat produksi sehingga penguasa alat produksi (pemilik modal) memiliki bargaining position yang tinggi, sehingga potensi pada penindasan terhadap kelas tanpa penguasaan alat-alat prosuksi. Marx menganalisis lebih jauh tentang hubungannya dengan Negara. Negara dikatakannya sebagai actor yang memaksa masyarakat untuk mematuhi setiap garis kebijakan atau aturan-aturan yang telah diciptakan. Karenanya keberpihakan Negara pada kelas kecil atau rakyat miskin sangat diperlukan. Kritikannya Marx sampai pada dataran yang lebih jauh yakni masyarakat miskin ditindas oleh negara. Masyarakat miskin tertindas oleh ragam multidimensional.

Pada zaman kegelapan, masyarakat Eropa di benua ini hidup dalam kungkungan ketertindasan serta kemiskinan. Mereka hidup terbelakang dibandingkan masyarakat di tempat lainnya.[3] Renaissance yang kemudian datang mengubah Eropa dan memberi banyak kontribusi untuk perkembangan ide negara dan hokum saat itu. Tindakan sewenang-wewenang para raja di Eropa pada masa kegelapan merupakan latar belakang lahirnya ide-ide akan perubahan social. Pada kenyataannya melahirkan gagasan-gagasan teori baru mengenai hubungan kekuasaan Negara dan rakyat. Apresiasi dan respon progresif rakyat terhadap tata cara bernegara juga berakibat menguatnya ide-ide perlunya mewujudkan dan melindungi hak-hak asasi manusia.

Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Salah satu ciri Negara hukum juga tidak dapat dilepaskan dengan pean Negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Apabila dilanggar hak tersebut, maka harus ada instrumen hukum dalam penegakkannya.

Tujuan hukum sendiri yang lebih popular kita dengar adalah mendapatkan keadilan, namun ada satu pertanyaan besar yang perlu kita berikan. Adakah keadilan itu berlaku bagi semua orang? Atau keadilan hanya didapatkan oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan. Hukum dalam realita (das sein) masih saja kita temukan keberpihakannya kepada golengan elit. Sehingga dikatakan oleh para kalangan kritikus hukum bukan lagi berfungsi sebagai instrument pengendalian social. Tetapi sebagai alat bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya.

Negara Hukum

Negara hukum adalah Negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemeberi suara rakyat (dewan Perwakilan Rakyat).[4] Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik adalah Negara yang diperintah oleh konstitusi dan berdasarkan hukum. Menurutnya yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang yang menetukan baik buruknya suatu hokum. Immanuel kant menggambarkan Negara hokum berfungsi sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas Negara hanya menjaga hak-hak rakyat jangan digagnggu dan dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat Negara tidak boleh ikut campur tangan, Negara hanya sebagai Nachwaster Staat.[5] Teori pemikiran ini dapat dikatakan teori pemikiran Negara hokum liberal.

Pengertian Negara hukum bila kita kaji dari beberapa filosof sangat beragam, hal ini disebabkan karena terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan masa dari filosof tersebut hidup. Lain lagi halnya dengan A.V Dicey, salah seorang pemikir Inggris yag termahsyur, mengemukakan tiga unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah hokum (the rule of law) yakni supremacy of law, equality before the law dan Constitution based on Individul Rights. Dari rumusan A.V Dicey tersebut jelas mengisyaratkan pengakuan adanya kedaulatan hukum atau supremasi dari hokum untuk mencegah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik ia berasal dari seorang atau segolongan manusia.[6]

Ismail Sunny menyimpulkan bahwa suatu masyarakat baru dapat disebut berada di bawah the rule of law, bila ia memili syarat-syarat esensial tertentu, antara lain harus terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu system hukum dimana HAM dan hokum dignity dihormati.[7]

Dalam simposium menegenai Negara hokum yang pernah diadakan di Jakarta pada tahun 1966 dalam keputusan symposium tersebut ciri khas Negara hokum adalah :

1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hokum, social, ekonomi dan kebudayaan
2. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga
3. legalitas dalam arti hokum dalam segala bentuknya.

Membahas Negara hokum juga tidak dapat dilepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Adapun hubungan antara hokum dengan demokrasi pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipoisahkan. Dengan kata lain, bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hokum-hukum yang berwatak dan berkarakter demokratis, sedangkan di Negara-negara yang otoriter atau non demokratis aan lahir hokum hukum non demokratis.[8]

Hukum dan Kekuasaan

Secara sederhana, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Geselchaft (1982) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk dalam suatu hubungan social, melaksanakan kamauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.[9]

Seiring dengan itu, Miriam Budiarjo merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.[10]

Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hokum, demikian juga sebaliknya hokum memiliki arti penting bagi kekuasaan. Hubungan antara keduanya sangat erat, sehingga dapat digambarkan seperti dua sisi mata uang. Di satu pihak, hokum adalah kekuasaan atau wewenang legal, di pihak lain hokum itu adalah aturan-aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, termasuk tingkah laku para penyelenggara Negara.[11]

Hubungan hokum dan kekuasaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.Hukum adalah Kekuasaan

Tata tertib dalam masyarakat tidak akan terwujud tanpa adanya kekuasaan yang lebih kuat dari kekuasaan segala individu atau golongan. Kekuasaan yang demikian adalah hukum, dimana seolah-olah termasuk kekuatan-kekuatan fisik dan batin dari seluruh masyarakat. [12] hukum pada asasnya adalah kekuasaan, karena sebagaipengatur masyarakat, ia tidak dapat mengikuti suara hati tiap-tiap individu, lebih-lebih karena ada juga manusia yang tidak memiliki suara hati atau mempunyai suara hati yang luas.

Hukum adalah kekuasaan tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. hukum adalah kekuasaan akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Sebagai contoh seorang, seorang pencuri menguasai barang curian. Ia berkuasa atas barang curiannya itu, tetapi penguasaannya itu tidak dilindungi hukum, karena ia tidak memiliki hak atas barang itu.[13]

2.Hukum Sebagai Dasar Legalitas Kekuasaan sekaligus Mengatur dan Membatasi Kekuasaan

Dalam masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan yang ada pada orang-orang hanya bisa diberikan melalui hukum. Berdasar pada hokum, kekuasaan dibagi-bagikan dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya diberikan kepada orang atau individu, melainkan juga kepada badan atau kumpulan orang-orang, seperti kekuasaan di bidang kenegaraan.

Disini harus dibedakan kekuasaan sebagai konsep yang murni dengan kekuasaan yang diatur oleh hokum. Kekuasaan yang murni tidak bisa menerima batasan-batasan, sedangkan kekuasaan yang diatur hukum merupakan sesuatu yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya dan pertanggungjawabannya.[14]

Oleh karena hokum itu memberikan pembatasan-pemabatasan yang demikian, maka institusi hokum itu hanya bisa berjalan dan berkembang dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hokum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.[15]

3.Kekuasaan adalah Sarana untuk Membentuk Hukum Sekaligus Instrumen Penegakannya

Suatu aturan dikatakan sah apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang. Karena itu kekuasaan dikatakan sebagai sarana untuk membentuk hokum sekaligus instrumen penegakannya. Kekuasaan merupakan alat untuk penegakan hukum, tanpa adanya kekuasaan maka huku tidak dapat ditegakkan. Karenanya

Uraian di atas menunjukkan hubungan yang erat antara hukum dan kekuasaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.

Keadilan untuk Rakyat Miskin

Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut mengisyaratkan perlakuan yang sama bagi setiap warga Negara. Setiap warga Negara harus mendapatkn perlakuan yang sama dalam hukum. Bunyi pasal ini juga sesuai dengan asas dalam hukum yaitu equality before the law.

Banyak penjahat kriminal dengan banyak tuduhan, seperti melarikan diri ketika masih dalam pemeriksaan, terbuktinya pelaku utama kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), pelaku kasus bulloggate atau kasus-kasus lainnya, divonis hanya belasan tahun. Banyak juga kita lihat di lapangan para pejabat Negara yang sudah terbukti bersalah masih saja dapat bebas berkeliaran.

Akan tetapi lain halnya dengan warga masyarakat kecil seperti maling sandal atau pencuri ayam yang belum tentu cukup bukti namun majelis hakim menolak untuk atas permintaan penangguhan penahan terdakwa. Perbedaan penerapan hukum antara orang besar dengan orang kecil, kaya dan miskin akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Indonesia. Belum lagi halnya dalam tahanan, orang kaya atau pejabat mendapatkan ruang tahanan yang khusus sedangkan rakyat miskin mendapatkan perlakuan yang tidak pada tempatnya.

Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naïf, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan memberikan perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat. Apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat.

Sadjipto Raharjo menyatakan dalam bukunya Sisi lain Hukum di Indonesia, salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Yang dimaksud dengan permainan di sini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri. Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan telah mengalami kemorosotan menjadi permainan.[16]

Bila kita kaji apa yang dikatakan oleh Satjipto rahardjo sangat beralasan, mengingat dalam dunia realitas seolah-olah hukum hanya menjadi permainan para elit. Sedangkan bagi rakyat miskin dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan. Fenomena mafia peradilan telah menghentakkan dunia hukum di negeri kita. Sehingga saat ini telah muncul lembaga yang mengawasi perilaku hakim untuk menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan sehat.

Para pengacara, yang tidak hentinya terus mengutak-atik hasil keputusan pengadilan. Dari banding, kasasi hingga peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA). Tersirat bagi kita para pengacara bukan lagi mencari keadilan akan tetapi berusaha agar memenangkan kliennya sehingga menaiki harkat sebagai pengacara yang handal. Tentunya dikemudian hari dapat menambah pendapatan bagi mereka. Beda halnya dengan rakyat kecil dan miskin yang tidak mampu membayar pengacara sehingga mereka “terpaksa” pasrah pada hasil kepeutusan majelis hakim.

Keadilan merupakan hak semua orang tanpa kecuali. Hak tersebut merupakan hak warga Negara yang diakui dan dijamin oleh undang-undang dasar. Karenanya perlu pendidikan moral bagi aparatur hukum. Perlu adanya cita-cita pembangunan hukum. Meskipun berat untuk mewujudkan namun keadilan harus tetap ditegakkan. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan akses keadilan bagi siapapun termasuk bagi rakyat miskin.

Hukum sendiri dipandang sebagai norma-norma yang bersumber dari masyarakat-kumpulan semua individu-dengan maksud untuk menegakkan keadilan (justice). Ini berarti dasar keberadaan Negara yang berdasarkan hukum adalah Negara yang ditujukan untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian kewajiban utama Negara berdasarkan hukum adalah menegakkan keadilan.[17]

Penutup

Hukum merupakan salah satu instrument pengendali social. Dalam roda kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, tentunya tidak bisa terlepas dari persoalan-persoalan yang muncul karena perbedaan dan ketimpangan social. Hak-hak seseorang meskipun kecil sekalipun harus dihormati dan dilindungi, dalam hal ini Negara melalui instrument peradilan mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.

Hukum diciptakan secara universal, artinya aturan yang telah dibuat tersebut berlaku bagi setiap orang tanpa kecuali sesuai dengan asas equality before the law. Hukum sendiri diciptakan untuk mencapai keadilan. Namun keadilan menjadi mahal harganya bagi rakyat miskin. Hal ini terkait dengan kemampuan orang tersebut terhadap ekonomi. Orang kaya mampu menyewa pengacara-pengacara yang handal ketika terjadi perkara padanya. Sehingga peluang keinginannya menjadi terbuka. Hal ini terjadi kesadaran dan moralitas pada aparatur hukum telah berkurang bahkan hilang sama sekali.

Lain lagi halnya dengan rakyat miskin yang tidak mampu menyewa para advokat yang popular hanya pasrah pada keadaan yang akan terjadi. Sebagai contoh maling jemuran mendapat perlakuan dalam tahanan yang berbeda dengan koruptor yang bernilai triliunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku aparatur hukum yang telah terkikis moralnya telah merusak cita-cita hukum di negeri kita. Begitu sulitnya rakyat miskin untuk mendapatkan keadilan disebabkan budaya hukum kita yang telah menjadi provit. Hukum dengan mudah diperjualbelikan.

DAFTAR PUSTAKA

Jawahir Thontowi. 2007. Modul Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Moh. Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta

Mohd. Jully Fuady. 2003. Asas Legalitas dalam Perkembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Nukhtoh Arfawie Kurde. 2005. Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Salman Luthan. 2000. Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Satjipto Rahardjo. 2006. Sisi-sisi Lain Hukum di Indonesia, Cet.II, Penerbit Kompas, Jakarta

Suryadi Radjab. 2002. Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI dan The Asia Foundation, Jakarta

Zul Azmi. 2007. Sistem Pemerintahan Aceh Menurut UU No.11 Tahun 2006, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.


[1] Makalah dibuat sebagai persyaratan untuk mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh

[2] Adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

[3] Mohd. Jully Fuady, Asas Legalitas dalam Perkembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003.

[4] Nukhtoh Arfawie Kurde, Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Oktober 2005.cet.I

[5] Zul Azmi, Sistem Pemerintahan Aceh Menurut UU No.11 Tahun 2006, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007.hlm.49.

[6] Ibid,hlm.50

[7] Ibid

[8] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Ctk Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 53

[9] Jawahir Thontowi, Modul Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2007, hlm.73

[10] Ibid, hlm. 74

[11] Salman Luthan, Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, No. 14 Vol. 7 Agustus 2000, hlm. 85

[12] Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 75

[13] Ibid

[14] Ibid, hlm. 76

[15] Ibid

[16] Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Januari 2006. hlm. 61

[17] Suryadi Radjab dkk, Dasar-Dasar Hak Asasi manusia, PBHI kerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, cetakan pertama 2002. hlm. 36