Senin, 03 Januari 2011

Pelatihan Manajemen Konflik bagi Anggota Peradilan Perdamaian Gampong

Pengertian Konflik
Ada banyak tokoh, praktisi maupun akademisi yang memberikan pengertian konflik ke semua itu jika ditarik kesimpulan konflik berarti :
Suatu keadaan dimana terdapat keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan lainnya, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Secara sederhananya adalah terjadinya perbedaan, tumpah tindih kepentingan dan kehendak.

Penyebab Konflik :
•Beda pemahaman/sudut pandang
•Beda kepentingan
•Karena Peraturan
Penggolongan/jenis-jenis konflik
•Konflik dalam keluarga
•Konflik dalam organisasi
•Konflik dalam masyarakat
•Konflik antar organisasi
•Konflik vertikal
•Konflik horizontal


Mekanisme Penyelesaian Konflik
Berharap agar tidak adanya konflik merupakan suatu hal yang ironi, sebab bagaimanapun kontradiksi selalu ada, namun bagi kita yang terpenting adalah mengelola konflik agar tidak meluas serta dengan sesegera mungkin untuk diselesaikan. Beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan konflik adalah :
•Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya konflik akan tetapi bagaimana konflik tersebut dihadapi dan dikelola untuk dapat diselesaikan
•Pendekatan secara kooperatif sangat membantu penyelesaian harapan bersama, termasuk dalam penyelesaian konflik atau masalah bersama
•Para pihak yang berkonflik harus diajak melihat masalahnya secara objektif dan menghadapinya bersama

Usaha-usaha mencegah konflik terbuka :
•Penelitian
•Pengkajian
•Survey
•Dengar pendapat umum
•Temu wicara
•Jajak pendapat
•Koordinasi kebijakan

Usaha-usaha penyelesaian sengketa
1.Cara-cara kooperatif :
•Menghindari Konflik
tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindar dari situasi konflik secara fisik atau ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menang-kalah terjadi di sini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mrncoba untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa saja terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali,ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stress karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut

•Akomodasi
akomodasi maksudnya jika salah satu pihak mengalah dan mengrobankan kepentingannya agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Hal ini biasanya terjadi jika salah satu pihak merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau salah satu pihak ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut atau lawannya. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.


•Dialog/musyawarah
dialog atau musyawarah yang dimaksud di sini yaitu para pihak mengedepankan penyelesaian secara dialog atau musyawarah, saling menguntungkan dan tidak ada yang menang maupun yang kalah. Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua pihak merasa bahwa pertentangan yang terjadi sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing pihak akan ‘mengorbankan’ sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi sama-sama menguntungkan dan sama-sama menang, tidak ada yang kalah atau win-win solution.

•Mediasi
Merupakan bentuk intervensi penyelesaian kkonflik dalam masyarakat yang membutuhkan kehadiran pihak ketiga sebagai penengah. Terkadang setiap orang, tim, kelompok, komunitas atau bahkan bangsa dan negara sekalipun sulit untuk menyelesaikan konflik sendiri. Hal ini disebabkan berbagai perbedaan yang tajam, emosi, sejarah status, ketidakadilan, kekuatan, politik kekuasaan, dan lain-lain sehingga membutuhkan bantuan untuk mengakhiri sebuah pertikaian. Pihak ketiga yang dimaksud yaitu mediator. Mediator yaitu orang yang ditunjuk oleh kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.
Peran dan fungsi mediator
•Membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tetapi untuk diselesaikan
•Menyusun dan mengusulkan alternatif penyelesaian dan pemecahan masalah
•Membantu para pihak untuk menganalisis alternatif pemecahan masalah
Usaha-usaha penyelesaian sengketa

2. cara-cara konfrontatif :
•Demonstrasi
•Sabotase
•Kekerasan
•Penggunaan media massa
•litigasi

3. Perwasitan (arbitrase)
Hal ini diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hanya menyangkut bidang perdagangan. Ada lembaga BANI (badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang pengurusnya dilantik oleh KADIN. Majelisnya bisa 3 atau hanya satu jika penyelesaian mudah.

Strategi penanganan Konflik

•Mengidentifikasi dan mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat ; sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita melihat konflik yang terjadi dari semua sudut pandang
•Identifikasi sumber konflik; konflik tidak muncul begitu saja, sumber konflik harus teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik
•Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat;

Manejemen Perdamaian di tingkat Gampong
Seperti yang telah dijabarkan di atas, konflik dapat terjadi dimanapun, konflik bukan untuk dihindari tapi dikelola dan diselesaikan. Sekarang ini pengakuan lembaga adat dan mengenai pembinaan adat di Aceh mempunyai legalitas yaitu dengan lahirnya Qanun No. 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Adat-istiadat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Selain itu juga dengan lahirnya UUPA telah mengakui kembali eksistensi kemukiman yang dahulu semasa Orde Baru pernah diseragamkan dengan daerah lain.
Qanun No. 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Adat-Istiadat
Pasal 13 jenis sengketa yang menjadi kewenangan Adat :
a. perselisihan dalam rumah tangga;
b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. perselisihan antar warga;
d. khalwat meusum;
e. perselisihan tentang hak milik;
f. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g. perselisihan harta sehareukat;
h. pencurian ringan;
i. pencurian ternak peliharaan;
j. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k. persengketaan di laut;
l. persengketaan di pasar;
m. penganiayaan ringan;
n. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p. pencemaran lingkungan (skala ringan);
q. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Tokoh-tokoh pelaksana penyelesaian adat di Gampong (pasal 14 ayat 2 dan 3)
•Di Gampong
a. Keuchik sebagai ketua
b. Sekretaris sebagai Panitera
c. Imuem Meunasah sebagai anggota
d. Tuha Peut sebagai anggota
e. ulama, tokohadat/cendekia di gampong
•Mukim
a. imuem mukim sebagai ketua
b. sekretaris mukim sebagai panitera
c. Tuha peut mukim sebagai anggota
d. ulama,tokoh adat/cendekia di mukim yang bersangkutan

Sanksi Adat (pasal 16 Qanun No. 9 Tahun 2008)
•Nasehat
•Teguran
•Pernyataan maaf
•Sayam
•Diyat
•Denda
•Ganti kerugian
•Dikucilkan oleh masyarakat Gampong atau nama lain
•Dikeluarkan oleh masyarakat gampong atau nama lain
•Pencabutan gelar adat
•Bentuk sanksi adat lainnya sesuai dengan adat setempat

Kelemahan dan hambatan peradilan Adat
•Belum ada hukum acara yang mengatur
•Sanksinya ada yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan/konvenan berkaitan dengan HAM
•Prakteknya banyak terjadi budaya eigenrichting
•Berpotensi tidak fair, misal jika para pihak yang di sidang memiliki hubungan keluarga
•Aparat penegak hukum yang tidak mengakui dan tidak mengerti mengenai peradilan adat. Ex kasus penganiayaan ringan
Peluang dan kelebihan pelaksanaan peradilan adat
•Sistem hukum Indonesia yang berliku dan panjang sehingga memerlukan peradilan Alternative. Ex kasus menumpuk di MA
•Cepat, sederhana dan biaya ringan
•Adil (relatif)
•Win-win solution

Pelanggaran Hukum dan Budaya Eigenrichting

oleh : Zul Azmi
Maraknya kekerasan serta meningkatnya angka kriminalitas di Aceh selama ini patut menjadi perhatian bagi kita. Hampir setiap hari ada saja berita-berita kriminalitas yang memilukan bahkan menjadi tragis manakala kita membandingkan akar persoalan penyebab kriminalitas tersebut. Hanya karena persoalan yang sepele, berbuntut pada penganiayaan secara fisik bahkan sampai pada penghilangan nyawa.

Hampir setiap hari ketika kita membaca harian Metro Aceh, selalu dipenuhi dengan berita-berita kriminalitas. Jika di masa konflik kita hanya sering mendengar berita penembakan yang berujung pada kematian, yang dilakukan oleh pihak yang berkonflik namun di masa damai ini, justru para pelakunya adalah masyarakat sipil.

Hampir setiap hari kita disuguhi dengan berita tentang pencurian, perampokan, pembunuhan, peredaran narkoba, pemerkosaan, mesum, pelecehan seksual dsb. Jika di masa konflik yang melakukan hanya militer namun di masa damai ini, pelakunya justru warga masyarakat sipil sendiri.

Ironisnya, Syariát Islam yang seyogyanya dapat menurunkan angka perzinahan (mesum) justru di masa diterapkan Syariát Islam belum dapat menurunkan angka perzinahan tersebut. Padahal bila kita cermati, hukuman cambuk seharusnya dapat memberikan efek jera bagi si pelaku, namun hingga saat ini belum mampu untuk menurunkan angka persoalan tersebut.

Bahkan kehadiran Wilayatul Hisbah (WH) yang merupakan aparatur penegak Syariát Islam menuai pro dan kontra dari masyarakat. Masyarakat menjadi pesimis terhadap kemampuan WH dalam menegakkan Syariat Islam. Sehingga terkesan WH ‘tebang pilih’ dalam penegakan hukum syariáh di Aceh. Apalagi dengan adanya berita oknum WH juga melakukan pelanggaran terhadap Syariát Islam.

Maraknya angka kriminalitas di Aceh selama ini menjadi tanda tanya besar bagi kita. Aceh dikenal oleh luar dengan masyarakatnya yang Islami dan adanya penerapan Syariát Islam. Namun menjadi miris manakala banyak sekali pemberitaan tentang tentang kriminalitas di Aceh. Bukankah Islam sangat melarang perbuatan-perbuatan seperti khalwat, perampokan, pencurian, pemerkosaan dan angka kriminalitas lainnya?

Masalah Penegakan Hukum
Bila dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum pertama kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah. Kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah, dapat berefek pada pengambilan jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan masing-masing. masyarakat yang tidak mengerti akan hukum, berpotensi besar dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum. dalam hukum, dikenal dengan adanya fiksi hukum artinya semua dianggap mengerti akan hukum. Seseorang tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan akan perbuatannya dengan alasan bahwa ia tidak mengerti hukum atau suatu peraturan perundang-undangan. Jadi dalam hal ini sudah sewajarnya bagi setiap individu untuk mengetahui hukum. Sedangkan bagi aparatur hukum atau elemen lain yang concern pada supremasi hukum sudah seharusnya memberikan kesadaran hukum bagi setiap individu.

Kedua adalah ketaatan terhada hukum. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang budaya egoisme dari individu muncul. Ada saja orang yang melanggar hukum dengan bangga ia menceritakan perbuatannya kepada orang lain. Misalnya pelanggaran terhadap lalu lintas. Oleh pelakunya menganggap itu hal-hal yang biasa-biasa saja, bahkan dengan bersikap bangga diri ia menceritakan kembali kepada orang lain perbuatan yang telah dilakukannya. Hal semacam ini telah mereduksi nilai-nilai kebenaran, sehingga menjadi suatu kebudayaan yang sebenarnya salah.

ketiga adalah perilaku aparatur hukum. Perilaku aparatur hukum baik dengan sengaja ataupun tidak juga telah mempengaruhi dalam penegakan hukum. Misalnya aparat kepolisian yang dalam menagani suatu kasus dugaan tindak pidana, tidak jarang dalam kenyataannya juga langsung memvonis seseorang telah bersalah. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku aparat yang dengan “ringan tangan” terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana. Perilaku-perilaku semacam ini justru bukan mendidik seseorang untuk menghormati akan hukum. Ia menghormati hukum hanya karena takut akan polisi.

Keempat adalah faktor aparatur hukum. Seseorang yang melakukan tindak pidana, namun ia selalu bisa lolos dari jeratan pemidanaan, akan berpotensi bagi orang yang lain untuk melakukan hal yang sama. Korupsi yang banyak dilakukan namun banyak pelaku yang lepas dari jeratan hukum berpotensi untuk oleh orang lain melakukan hal yang sama. Adanya mafia peradilan, telah mempengaruhi semakin bobroknya penegakan hukum di negeri kita. Aparatur hukum yang sedianya diandalkan untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, justru melakukan pelanggaran hukum. Sebagai akibatnya masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum.

Budaya Eigenrichting
Penghargaan terhadap hak asasi orang lain adalah merupakan kewajiban, baik itu oleh individu maupun oleh aparatur penegak hukum sendiri. Adanya budaya main hakim sendiri (Eigenrichting) di masyarakat, merupakan tindakan yang jelas telah menyalahi aturan hukum. Dalam realitas, tidak jarang sesorang yang melakukan pencurian kemudian babak belur dihajar oleh masyarakat dan bahkan ada yang dibakar hingga mati.

Padahal dalam aturan hukum seseorang tidaklah dapat dianggap bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan. Dalam proses peradilan tentunya telah ada pembuktian. Bila ia telah terbukti bersalah, barulah kemudian ia dapat dijatuhkan pidana. Sesuai dengan asas legalitas menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Tindakan main hakim sendiri juga telah mengangkangi semangat asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence). Terkait dengan pencuri, bisa saja ia mengambil yang sebenarnya kepunyaannya sendiri.

Budaya main hakim sendiri, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat akan tetapi juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum. Misal pemukulan dan penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang yang dicurigai melakukan suatu tindak pidana.

Eksistensi hukum pada hakikatnya adalah untuk mengatur perhubungan hukum dalam pergaulan masyarakat, baik antara orang seorang, orang yang satu dengan orang lain, antara orang dengan negara dan mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada pada Undang-undang negara termasuk dalam pelaksanaan pemerintahannya secara keseluruhan, khususnya dalam hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh aparat penegak hukum dalam rangka kekuasaan yang dijalankan agar dalam setiap tindakannya dapat mencerminkan hakikat daripada hukum itu. Sehingga dengan demikian perbuatan semena-mena yang menjauhkan cita-cita hukum dapat dihindarkan, maka untuk hal sedemikian cita-cita negara bernegara dan berbangsa yang dalam hubungan ini dapat mewujudkan keadilan sosial.

Hukum merupakan salah satu instrument pengendali social. Dalam roda kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, tentunya tidak bisa terlepas dari persoalan-persoalan yang muncul karena perbedaan dan ketimpangan social. Hak-hak seseorang meskipun kecil sekalipun harus dihormati dan dilindungi, dalam hal ini Negara melalui instrument peradilan mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.

Kontrol Sosial dan Peran Agama
Masyarakat merupakan sebuah entitas yang dalam kehidupan sehari-hari lansung berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum dan penegakannya. Masyarakat memiliki peran yang besar dalam penegakan hukum dan pemajuan supremasi hukum. Banyaknya angka kriminalitas secara social bisa ditekan ketika adanya budaya taat akan hukum. Sehingga peluang terjadinya pelanggaran dapat dipersempit.

Dalam kehidupan, suadah ada norma social yang harus dipatuhi. Sebenarnya norma social ini telah menjadi alat pengontrol dari pelanggaran hukum. Misal seseorang diharuskn untuk menghormati hak dan kehidupan orang lain. Tentunya bila masyarakat mematuhi norma-norma yang berkembang dalam masyarakat juga bisa mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma lainnya, seperti norma hukum, norma agama, adat dan norma-norma lainnya. terlebih di Aceh yang sudah berpuluh tahun bisa mensandingkan antara adapt dan agama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang.

Aturan agama juga menjadi suatu pencegah terhadap tindakan pelanggran terhadap hukum. nabi Muhammad SAW di masanya telah menjalankan system perailan. nabi Muhamad SAW telah mengangangkat Muadz sebagai hakim, untuk menjalankan peradilan di Medinah.

Sama halnya dengan proses peradilan dewasa ini, di masa nabi dan para sahabat system peradilan juga mensyaratkan adanya proses pembuktian. Seseorang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran, maka ia harus membuktikan di perasidangan bahwa orang tersebut bersalah. Jadi budaya eigenrichting (main hakim sendiri) yang lumrah terjadi dalam masyarakat kita merupakan perbuatan yang tidak mengikuti akan sunnah rasul dan tidak mematuhi hukum.

Penutup
Meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi di Aceh dewasa ini patut menjadi perhatian kita bersama. Perbuatan yang dilakukan sebenarnya tidak hanya melanggar norma hukum positif, akan tetapi juga telah melanggar norma-norma agama, norma social, norma susila dan norma lainnya.

Meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi di Aceh sangat ironi dengan predikat dari luar masyarkat Aceh merupakan masyarakat yang Islami dan melaksankaan Syariát Islam dalam kehidupan sehari. Penulis berharap dengan maraknya kriminalitas yang terjadi di Aceh patut menjadi bagian dari introspeksi kita bersama. Jangan sampai predikat Nanggroe Islami justru menjadi beban bagi kita serta menjadi bahan olok-olokan dari masyarakat luar yang tidak sepakat dengan Syariát Islam.

Kita berharap lembaga-lembaga social, lembaga agama, aparatur penegak hukum mari bersama-sama kita melakukan pencegahan terhadap penyakit social masyarakat ini dengan tetap menjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Budaya Eigenrichting yang marak terjadi tentunya mulai dari sekarang tidak terjadi lagi. Karena pemidanaan sebenarnya tidak hanya membuat jera si pelaku akan tetapi membentuk kesadaran dan mendidik individu tersebut untuk menaati norma hukum dan norma-norma lainnya.
Demonstrasi; Hak atau Larangan?
Oleh : Zul Azmi, SH

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan berpendapat, kebebasan beorganisasi dan jaminan serta adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah negara hukum.

Setiap negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum, maka harus memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah negara hukum. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mendasarkan pada adanya konstitusional.

Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 1 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 menyebutkan kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aksi massa atau demonstrasi merupakan salah satu hak rakyat yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi dasar dan undang-undang. Kemerdekaan menyampaikan pendapat ini merupakan sarana bagi rakyat untuk menggapai tujuannya. Sebagian rakyat mengakui bahwa demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencapai kepentingannya.

Perubahan yang ingin dicapai oleh sebagian masyarakat masih meyakini bahwa kekuatan massa yang tidak bersenjata mampu untuk mempengaruhi kebijakan. Kita masih ingat bahwa kejatuhan rezim otoritarian Soeharto yang telah berkuasa dan tidak terusik selama 32 tahun, mampu dijatuhkan oleh kekuatan demonstrasi massa.

Ada banyak kejadian lainnya yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam hal ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Hanya saja yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan politik praktis atau jangka panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok atau demi kemaslahatan orang banyak.

Jika kita kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh Pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal 28 UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstrans memiliki legalitas dalam aksinya. Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di muka umum menjadi terkendala ketika pelaksananya dapat dijerat pidana pasal 160-161 tentang penghasutan.

Pasal-pasal inilah yang banyak menjerat para aktivis ketika melakukan demonstrasi. Sebenarnya pasal ini bisa dijalankan ketika hasutan itu dilakukan terhadap khalayak ramai untuk melakukan perbuatan pidana. Namun dalam prakteknya, banyak para aktivis yang harus tersandung dengan pasal ini. Meskipun yang dilakukan oleh aktivis dalam rangka bagian dari partisipasi publik dan advokasi terhadap masyarakat, namun mereka tetap saja dapat dijerat dengan pasal penghasutan tersebut.

Padahal, mustahil ketika dalam demonstrasi tidak membawa alat peraga berupa poster atau selebaran. Suatu hal yang mustahil juga dalam demonstrasi tidak melakukan orasi. Sebab, pada intinya tujuan demonstrasi adalah mengabarkan kepada publik (masyarakat luas) tentang hal apa yang terjadi dan hal apa yang diinginkan.

Suatu hal yang mustahil juga dalam demonstrasi tidak ada penanggung jawab dan komando massa. Secara sederhana, ketika kita mempunyai masalah, maka kita akan menyampaikan kepada orang lain agar bisa membantu dan memberikan solidaritas kepada kita. Dengan demikian, demonstrasi sudah barang tentu ada penggeraknya. Namun permasalahannya apakah hal itu merupakan suatu tindak pidana penghasutan? Tabir kezaliman yang dituangkan dalam selebaran dan dapat dipertanggung jawabkan apakah suatu tindak pidana penghasutan? Tulisan akademik dalam bentuk kritikan terhadap penguasa apakah juga dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana penghasutan?

Jika benar itu semua penghasutan, maka perlu dipertegas dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang mekanisme demonstrasi secara detail. Karena sangat jarang kita temukan dalam demonstrasi hanya memuji Pemerintah atau dalam demonstrasi para demonstrannya hanya diam saja tanpa membawa dan memakai alat peraga.

Mencermati problem di atas, pada dasarnya akan terjawab ketika aparatur negara benar-benar menjalankan prinsip negara hukum dan demokrasi, serta mentaati hak Sipil dan Politik.

Sebagai sebuah negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi tentunya dapat diukur dari adanya penegakan, pemenuhan dan pemajuan terhadap hukum dan HAM dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Saat ini semua negara menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi. Hanya saja sistemnya yang berbeda-beda. Masing-masing sistem hukum negara memiliki perbedaan, namun pada dasarnya mempunyai cita-cita yang sama yaitu terselenggaranya sebuah negara yang demokratis serta menjunjung tinggi hukum, HAM dan demokrasi.

Pada dasarnya sebuah negara hukum telah include persoalan-persoalan berkaitan dengan HAM dan demokrasi. Karena berbagai macam regulasi yang dibuat merupakan bagian dari realisasi terhadap HAM. Secara prosedural juga telah memenuhi asas kontrak sosial suatu negara. Berbagai regulasi yang ada merupakan bentukan dan hasil kesepakatan rakyat melalui mandatarisnya. Dengan demikian telah mengakomodir prinsip demos dan cratein.

Indonesia yang telah menyatakan sebagai sebuah negara hukum, telah meratifikasi berbagai konvenan Internasional yang bertujuan untuk tercapainya sebuah negara hukum. Seperti Konvenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005 serta hak-hak sipil dan politik (Sipol) yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Ke dua konvenan Internasional tersebut merupakan bagian dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia. Secara keseluruhan baik hak Ekosob maupun Sipol telah diatur dalam regulasi nasional seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia serta diatur juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.

HAM memiliki hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Hal ini mengingat model pemenuhannya yang berbeda. Hak ekosob merupakan hak positif (positive rights). Negara melalui aparaturnya perlu peran besar dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Seperti hak warga negara atas kesejahteraan, pendidikan, perumahan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, terbebas dari kelaparan, lingkungan yang sehat dan lain sebagainya. Jika masih banyak warga negara dilanda kelaparan, lapangan pekerjaan yang sempit, banyak anak-anak tidak bersekolah/putus sekolah, lingkungan yang tidak sehat, kesehatan warga negara yang tidak terjamin, maka negara telah melakukan pelanggaran hak-hak Ekosob. Aparatur negara yang merupakan action person untuk mewujudkan cita-cita negara telah gagal dalam penyelenggaraan negara.

Sedangkan negative rights dapat kita lihat pada hak-hak sipil dan politik (Sipol). Dalam negative rights, negara dalam pemenuhannya haruslah bertindak pasif. Hal ini berbeda dengan hak-hak ekosob dimana negara harus bertindak aktif. Misalnya hak-hak warga negara untuk berorganisasi dan mendirikan serikat, hak ikut serta dalam urusan penyelenggaraan publik, hak untuk berpendapat baik lisan maupun tulisan, hak tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, hak tidak diperlakukan atas penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan martabat, hak berkumpul yang bersifat damai, hak untuk tidak dihukum karena tidak ada dasar hukum, hak tidak dipenjara karena seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban kontraktualnya, hak tidak diperlakukan asas retroaktif dalam perundang-undangan pidana dan lain sebagainya. Secara terperinci telah termaktub dalam Konvenan Internasional Hak-hak sipil dan politik.

Terhadap hak Sipol, negara tidak dibenarkan terlalu ikut campur karena ketika negara terlalu ikut campur maka akan berpotensi terlanggarnya hak-hak tersebut. Misalnya mematai-matai setiap warga negara yang melakukan dan menyelenggarakan diskusi dan seminar, mencurigai orang untuk berkumpul, melakukan penyiksaan, menangkap dan menahan orang yang bersalah dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana, merendahkan martabat tersangka, menghalang-halangi warga negara untuk mengkritisi kebijakan pemerintahan, mengahalang-halangi warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan lain sebagainya. Agar terjaminnya hak-hak Sipol, aparatur negara tidak perlu ikut campur tangan yang berlebihan atau dengan kata lain harus bertindak pasif. Aparatur negara hanya perlu memastikan saja agar hak-hak ini terjamin dan terselenggara dengan baik.