Sabtu, 19 Juli 2008

Sulitnya Memperoleh Keadilan bagi Rakyat Miskin

Oleh; Zul Azmi

Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lainnya di dalam suatu tempat dan wadah yang bernama masyarakat. Semenjak dahulu kala manusia telah melakukan interaksi social antara seseorang dengan lainnya, ataupun antara suatu klan dengan klan lainnya. Masa yang paling sederhana sejarah interaksi manusia adalah pada fase primitive. Masa ini meskipun sifatnya masih sangat sederhana namun manusia telah melakukan interaksi antar satu dengan lainnya untuk mencapai kepentingan masing-masing.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menjadikan multi kepentingan bagi masyarakat. Kebutuhan pada manusia juga semakin beragam. Pada fase primitif kebutuhan dan kepentingan manusia masih sangat sederhana, namun fase selanjutnya manusia telah mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.

Dalam perkembanagan sejarah kehidupan manusia selanjutnya, ditemukanlah berbagai ketimpangan-ketimpangan yang muncul dari perbedaan kepentingan. Karena itu muncullah peraturan-peraturan yang sifatnya mengatur dan melindungi. Ini merupakan bentuk kesadaran manusia yang tertinggi untuk menghargai kepentingan orang lain. Dikarenakan sudah memiliki beragam kepentingan, maka ilmu pengetahuan memberikan kesadarana bagi manuisia untuk menghargai dan menghormati kepentingan-kepentingan orang lain meskipun berbeda.

Kemunculan Negara, merupakan sebagai salah satu latar belakang utuk kepentingan melindungi manusia yang lemah. Menurut Thomas Hobbes manusia merupakan serigala bagi manusia yang lain. Argument Hobbes merupakan suatu realita pada saat itu dimana ia melihat manusia yang lemah ditindas oleh manusia yang lebih kuat. Karenanya Negara dibutuhkan untuk melindungi manusia-manusia yang lemah. Perlindungan bagi manusia dilaksanakan melalui alat negara dengan menciptakan peragkat hukumnya. Masyarakat yang tertinggal secara ekonomi merupakan piak yang lemah dalam dialektika kehidupan.

Merujuk pada fase perkembangan ekonomi dan politik, dapat kita lihat kelas yang paling lemah adalah kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Kemunculan teorinya Adam Smith dan David Ricardo melalui Wealth of Nation merupakan salah satu akibat munculnya kesenjangan ekonomi. Teori liberalisasi yang diinginkannya menciptakan kondisi manusia harus melakukan kompetisi dengan lainyya dalam kepentingan ekonomi.

Karl Marx muncul dengan gagasan teori sosialisme, yang mengkritik teorinya Adam Smith menyatakan bahwa kompetisi telah membawa proses kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi bagi masyarakat. Letak masalahnya adalah pada penguasaan alat-alat produksi sehingga penguasa alat produksi (pemilik modal) memiliki bargaining position yang tinggi, sehingga potensi pada penindasan terhadap kelas tanpa penguasaan alat-alat prosuksi. Marx menganalisis lebih jauh tentang hubungannya dengan Negara. Negara dikatakannya sebagai actor yang memaksa masyarakat untuk mematuhi setiap garis kebijakan atau aturan-aturan yang telah diciptakan. Karenanya keberpihakan Negara pada kelas kecil atau rakyat miskin sangat diperlukan. Kritikannya Marx sampai pada dataran yang lebih jauh yakni masyarakat miskin ditindas oleh negara. Masyarakat miskin tertindas oleh ragam multidimensional.

Pada zaman kegelapan, masyarakat Eropa di benua ini hidup dalam kungkungan ketertindasan serta kemiskinan. Mereka hidup terbelakang dibandingkan masyarakat di tempat lainnya.[3] Renaissance yang kemudian datang mengubah Eropa dan memberi banyak kontribusi untuk perkembangan ide negara dan hokum saat itu. Tindakan sewenang-wewenang para raja di Eropa pada masa kegelapan merupakan latar belakang lahirnya ide-ide akan perubahan social. Pada kenyataannya melahirkan gagasan-gagasan teori baru mengenai hubungan kekuasaan Negara dan rakyat. Apresiasi dan respon progresif rakyat terhadap tata cara bernegara juga berakibat menguatnya ide-ide perlunya mewujudkan dan melindungi hak-hak asasi manusia.

Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Salah satu ciri Negara hukum juga tidak dapat dilepaskan dengan pean Negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Apabila dilanggar hak tersebut, maka harus ada instrumen hukum dalam penegakkannya.

Tujuan hukum sendiri yang lebih popular kita dengar adalah mendapatkan keadilan, namun ada satu pertanyaan besar yang perlu kita berikan. Adakah keadilan itu berlaku bagi semua orang? Atau keadilan hanya didapatkan oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan. Hukum dalam realita (das sein) masih saja kita temukan keberpihakannya kepada golengan elit. Sehingga dikatakan oleh para kalangan kritikus hukum bukan lagi berfungsi sebagai instrument pengendalian social. Tetapi sebagai alat bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya.

Negara Hukum

Negara hukum adalah Negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemeberi suara rakyat (dewan Perwakilan Rakyat).[4] Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik adalah Negara yang diperintah oleh konstitusi dan berdasarkan hukum. Menurutnya yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang yang menetukan baik buruknya suatu hokum. Immanuel kant menggambarkan Negara hokum berfungsi sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas Negara hanya menjaga hak-hak rakyat jangan digagnggu dan dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat Negara tidak boleh ikut campur tangan, Negara hanya sebagai Nachwaster Staat.[5] Teori pemikiran ini dapat dikatakan teori pemikiran Negara hokum liberal.

Pengertian Negara hukum bila kita kaji dari beberapa filosof sangat beragam, hal ini disebabkan karena terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan masa dari filosof tersebut hidup. Lain lagi halnya dengan A.V Dicey, salah seorang pemikir Inggris yag termahsyur, mengemukakan tiga unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah hokum (the rule of law) yakni supremacy of law, equality before the law dan Constitution based on Individul Rights. Dari rumusan A.V Dicey tersebut jelas mengisyaratkan pengakuan adanya kedaulatan hukum atau supremasi dari hokum untuk mencegah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik ia berasal dari seorang atau segolongan manusia.[6]

Ismail Sunny menyimpulkan bahwa suatu masyarakat baru dapat disebut berada di bawah the rule of law, bila ia memili syarat-syarat esensial tertentu, antara lain harus terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu system hukum dimana HAM dan hokum dignity dihormati.[7]

Dalam simposium menegenai Negara hokum yang pernah diadakan di Jakarta pada tahun 1966 dalam keputusan symposium tersebut ciri khas Negara hokum adalah :

1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hokum, social, ekonomi dan kebudayaan
2. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga
3. legalitas dalam arti hokum dalam segala bentuknya.

Membahas Negara hokum juga tidak dapat dilepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Adapun hubungan antara hokum dengan demokrasi pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipoisahkan. Dengan kata lain, bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hokum-hukum yang berwatak dan berkarakter demokratis, sedangkan di Negara-negara yang otoriter atau non demokratis aan lahir hokum hukum non demokratis.[8]

Hukum dan Kekuasaan

Secara sederhana, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Geselchaft (1982) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk dalam suatu hubungan social, melaksanakan kamauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.[9]

Seiring dengan itu, Miriam Budiarjo merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.[10]

Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hokum, demikian juga sebaliknya hokum memiliki arti penting bagi kekuasaan. Hubungan antara keduanya sangat erat, sehingga dapat digambarkan seperti dua sisi mata uang. Di satu pihak, hokum adalah kekuasaan atau wewenang legal, di pihak lain hokum itu adalah aturan-aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, termasuk tingkah laku para penyelenggara Negara.[11]

Hubungan hokum dan kekuasaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.Hukum adalah Kekuasaan

Tata tertib dalam masyarakat tidak akan terwujud tanpa adanya kekuasaan yang lebih kuat dari kekuasaan segala individu atau golongan. Kekuasaan yang demikian adalah hukum, dimana seolah-olah termasuk kekuatan-kekuatan fisik dan batin dari seluruh masyarakat. [12] hukum pada asasnya adalah kekuasaan, karena sebagaipengatur masyarakat, ia tidak dapat mengikuti suara hati tiap-tiap individu, lebih-lebih karena ada juga manusia yang tidak memiliki suara hati atau mempunyai suara hati yang luas.

Hukum adalah kekuasaan tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. hukum adalah kekuasaan akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Sebagai contoh seorang, seorang pencuri menguasai barang curian. Ia berkuasa atas barang curiannya itu, tetapi penguasaannya itu tidak dilindungi hukum, karena ia tidak memiliki hak atas barang itu.[13]

2.Hukum Sebagai Dasar Legalitas Kekuasaan sekaligus Mengatur dan Membatasi Kekuasaan

Dalam masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan yang ada pada orang-orang hanya bisa diberikan melalui hukum. Berdasar pada hokum, kekuasaan dibagi-bagikan dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya diberikan kepada orang atau individu, melainkan juga kepada badan atau kumpulan orang-orang, seperti kekuasaan di bidang kenegaraan.

Disini harus dibedakan kekuasaan sebagai konsep yang murni dengan kekuasaan yang diatur oleh hokum. Kekuasaan yang murni tidak bisa menerima batasan-batasan, sedangkan kekuasaan yang diatur hukum merupakan sesuatu yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya dan pertanggungjawabannya.[14]

Oleh karena hokum itu memberikan pembatasan-pemabatasan yang demikian, maka institusi hokum itu hanya bisa berjalan dan berkembang dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hokum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.[15]

3.Kekuasaan adalah Sarana untuk Membentuk Hukum Sekaligus Instrumen Penegakannya

Suatu aturan dikatakan sah apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang. Karena itu kekuasaan dikatakan sebagai sarana untuk membentuk hokum sekaligus instrumen penegakannya. Kekuasaan merupakan alat untuk penegakan hukum, tanpa adanya kekuasaan maka huku tidak dapat ditegakkan. Karenanya

Uraian di atas menunjukkan hubungan yang erat antara hukum dan kekuasaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.

Keadilan untuk Rakyat Miskin

Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut mengisyaratkan perlakuan yang sama bagi setiap warga Negara. Setiap warga Negara harus mendapatkn perlakuan yang sama dalam hukum. Bunyi pasal ini juga sesuai dengan asas dalam hukum yaitu equality before the law.

Banyak penjahat kriminal dengan banyak tuduhan, seperti melarikan diri ketika masih dalam pemeriksaan, terbuktinya pelaku utama kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), pelaku kasus bulloggate atau kasus-kasus lainnya, divonis hanya belasan tahun. Banyak juga kita lihat di lapangan para pejabat Negara yang sudah terbukti bersalah masih saja dapat bebas berkeliaran.

Akan tetapi lain halnya dengan warga masyarakat kecil seperti maling sandal atau pencuri ayam yang belum tentu cukup bukti namun majelis hakim menolak untuk atas permintaan penangguhan penahan terdakwa. Perbedaan penerapan hukum antara orang besar dengan orang kecil, kaya dan miskin akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Indonesia. Belum lagi halnya dalam tahanan, orang kaya atau pejabat mendapatkan ruang tahanan yang khusus sedangkan rakyat miskin mendapatkan perlakuan yang tidak pada tempatnya.

Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naïf, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan memberikan perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat. Apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat.

Sadjipto Raharjo menyatakan dalam bukunya Sisi lain Hukum di Indonesia, salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Yang dimaksud dengan permainan di sini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri. Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan telah mengalami kemorosotan menjadi permainan.[16]

Bila kita kaji apa yang dikatakan oleh Satjipto rahardjo sangat beralasan, mengingat dalam dunia realitas seolah-olah hukum hanya menjadi permainan para elit. Sedangkan bagi rakyat miskin dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan. Fenomena mafia peradilan telah menghentakkan dunia hukum di negeri kita. Sehingga saat ini telah muncul lembaga yang mengawasi perilaku hakim untuk menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan sehat.

Para pengacara, yang tidak hentinya terus mengutak-atik hasil keputusan pengadilan. Dari banding, kasasi hingga peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA). Tersirat bagi kita para pengacara bukan lagi mencari keadilan akan tetapi berusaha agar memenangkan kliennya sehingga menaiki harkat sebagai pengacara yang handal. Tentunya dikemudian hari dapat menambah pendapatan bagi mereka. Beda halnya dengan rakyat kecil dan miskin yang tidak mampu membayar pengacara sehingga mereka “terpaksa” pasrah pada hasil kepeutusan majelis hakim.

Keadilan merupakan hak semua orang tanpa kecuali. Hak tersebut merupakan hak warga Negara yang diakui dan dijamin oleh undang-undang dasar. Karenanya perlu pendidikan moral bagi aparatur hukum. Perlu adanya cita-cita pembangunan hukum. Meskipun berat untuk mewujudkan namun keadilan harus tetap ditegakkan. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan akses keadilan bagi siapapun termasuk bagi rakyat miskin.

Hukum sendiri dipandang sebagai norma-norma yang bersumber dari masyarakat-kumpulan semua individu-dengan maksud untuk menegakkan keadilan (justice). Ini berarti dasar keberadaan Negara yang berdasarkan hukum adalah Negara yang ditujukan untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian kewajiban utama Negara berdasarkan hukum adalah menegakkan keadilan.[17]

Penutup

Hukum merupakan salah satu instrument pengendali social. Dalam roda kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, tentunya tidak bisa terlepas dari persoalan-persoalan yang muncul karena perbedaan dan ketimpangan social. Hak-hak seseorang meskipun kecil sekalipun harus dihormati dan dilindungi, dalam hal ini Negara melalui instrument peradilan mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.

Hukum diciptakan secara universal, artinya aturan yang telah dibuat tersebut berlaku bagi setiap orang tanpa kecuali sesuai dengan asas equality before the law. Hukum sendiri diciptakan untuk mencapai keadilan. Namun keadilan menjadi mahal harganya bagi rakyat miskin. Hal ini terkait dengan kemampuan orang tersebut terhadap ekonomi. Orang kaya mampu menyewa pengacara-pengacara yang handal ketika terjadi perkara padanya. Sehingga peluang keinginannya menjadi terbuka. Hal ini terjadi kesadaran dan moralitas pada aparatur hukum telah berkurang bahkan hilang sama sekali.

Lain lagi halnya dengan rakyat miskin yang tidak mampu menyewa para advokat yang popular hanya pasrah pada keadaan yang akan terjadi. Sebagai contoh maling jemuran mendapat perlakuan dalam tahanan yang berbeda dengan koruptor yang bernilai triliunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku aparatur hukum yang telah terkikis moralnya telah merusak cita-cita hukum di negeri kita. Begitu sulitnya rakyat miskin untuk mendapatkan keadilan disebabkan budaya hukum kita yang telah menjadi provit. Hukum dengan mudah diperjualbelikan.

DAFTAR PUSTAKA

Jawahir Thontowi. 2007. Modul Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Moh. Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta

Mohd. Jully Fuady. 2003. Asas Legalitas dalam Perkembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Nukhtoh Arfawie Kurde. 2005. Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Salman Luthan. 2000. Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Satjipto Rahardjo. 2006. Sisi-sisi Lain Hukum di Indonesia, Cet.II, Penerbit Kompas, Jakarta

Suryadi Radjab. 2002. Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI dan The Asia Foundation, Jakarta

Zul Azmi. 2007. Sistem Pemerintahan Aceh Menurut UU No.11 Tahun 2006, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.


[1] Makalah dibuat sebagai persyaratan untuk mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh

[2] Adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

[3] Mohd. Jully Fuady, Asas Legalitas dalam Perkembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003.

[4] Nukhtoh Arfawie Kurde, Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Oktober 2005.cet.I

[5] Zul Azmi, Sistem Pemerintahan Aceh Menurut UU No.11 Tahun 2006, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007.hlm.49.

[6] Ibid,hlm.50

[7] Ibid

[8] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Ctk Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 53

[9] Jawahir Thontowi, Modul Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2007, hlm.73

[10] Ibid, hlm. 74

[11] Salman Luthan, Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, No. 14 Vol. 7 Agustus 2000, hlm. 85

[12] Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 75

[13] Ibid

[14] Ibid, hlm. 76

[15] Ibid

[16] Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Januari 2006. hlm. 61

[17] Suryadi Radjab dkk, Dasar-Dasar Hak Asasi manusia, PBHI kerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, cetakan pertama 2002. hlm. 36

Tidak ada komentar: