Senin, 03 Januari 2011

Demonstrasi; Hak atau Larangan?
Oleh : Zul Azmi, SH

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan berpendapat, kebebasan beorganisasi dan jaminan serta adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah negara hukum.

Setiap negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum, maka harus memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah negara hukum. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mendasarkan pada adanya konstitusional.

Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 1 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 menyebutkan kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aksi massa atau demonstrasi merupakan salah satu hak rakyat yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi dasar dan undang-undang. Kemerdekaan menyampaikan pendapat ini merupakan sarana bagi rakyat untuk menggapai tujuannya. Sebagian rakyat mengakui bahwa demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencapai kepentingannya.

Perubahan yang ingin dicapai oleh sebagian masyarakat masih meyakini bahwa kekuatan massa yang tidak bersenjata mampu untuk mempengaruhi kebijakan. Kita masih ingat bahwa kejatuhan rezim otoritarian Soeharto yang telah berkuasa dan tidak terusik selama 32 tahun, mampu dijatuhkan oleh kekuatan demonstrasi massa.

Ada banyak kejadian lainnya yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam hal ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Hanya saja yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan politik praktis atau jangka panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok atau demi kemaslahatan orang banyak.

Jika kita kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh Pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal 28 UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstrans memiliki legalitas dalam aksinya. Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di muka umum menjadi terkendala ketika pelaksananya dapat dijerat pidana pasal 160-161 tentang penghasutan.

Pasal-pasal inilah yang banyak menjerat para aktivis ketika melakukan demonstrasi. Sebenarnya pasal ini bisa dijalankan ketika hasutan itu dilakukan terhadap khalayak ramai untuk melakukan perbuatan pidana. Namun dalam prakteknya, banyak para aktivis yang harus tersandung dengan pasal ini. Meskipun yang dilakukan oleh aktivis dalam rangka bagian dari partisipasi publik dan advokasi terhadap masyarakat, namun mereka tetap saja dapat dijerat dengan pasal penghasutan tersebut.

Padahal, mustahil ketika dalam demonstrasi tidak membawa alat peraga berupa poster atau selebaran. Suatu hal yang mustahil juga dalam demonstrasi tidak melakukan orasi. Sebab, pada intinya tujuan demonstrasi adalah mengabarkan kepada publik (masyarakat luas) tentang hal apa yang terjadi dan hal apa yang diinginkan.

Suatu hal yang mustahil juga dalam demonstrasi tidak ada penanggung jawab dan komando massa. Secara sederhana, ketika kita mempunyai masalah, maka kita akan menyampaikan kepada orang lain agar bisa membantu dan memberikan solidaritas kepada kita. Dengan demikian, demonstrasi sudah barang tentu ada penggeraknya. Namun permasalahannya apakah hal itu merupakan suatu tindak pidana penghasutan? Tabir kezaliman yang dituangkan dalam selebaran dan dapat dipertanggung jawabkan apakah suatu tindak pidana penghasutan? Tulisan akademik dalam bentuk kritikan terhadap penguasa apakah juga dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana penghasutan?

Jika benar itu semua penghasutan, maka perlu dipertegas dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang mekanisme demonstrasi secara detail. Karena sangat jarang kita temukan dalam demonstrasi hanya memuji Pemerintah atau dalam demonstrasi para demonstrannya hanya diam saja tanpa membawa dan memakai alat peraga.

Mencermati problem di atas, pada dasarnya akan terjawab ketika aparatur negara benar-benar menjalankan prinsip negara hukum dan demokrasi, serta mentaati hak Sipil dan Politik.

Sebagai sebuah negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi tentunya dapat diukur dari adanya penegakan, pemenuhan dan pemajuan terhadap hukum dan HAM dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Saat ini semua negara menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi. Hanya saja sistemnya yang berbeda-beda. Masing-masing sistem hukum negara memiliki perbedaan, namun pada dasarnya mempunyai cita-cita yang sama yaitu terselenggaranya sebuah negara yang demokratis serta menjunjung tinggi hukum, HAM dan demokrasi.

Pada dasarnya sebuah negara hukum telah include persoalan-persoalan berkaitan dengan HAM dan demokrasi. Karena berbagai macam regulasi yang dibuat merupakan bagian dari realisasi terhadap HAM. Secara prosedural juga telah memenuhi asas kontrak sosial suatu negara. Berbagai regulasi yang ada merupakan bentukan dan hasil kesepakatan rakyat melalui mandatarisnya. Dengan demikian telah mengakomodir prinsip demos dan cratein.

Indonesia yang telah menyatakan sebagai sebuah negara hukum, telah meratifikasi berbagai konvenan Internasional yang bertujuan untuk tercapainya sebuah negara hukum. Seperti Konvenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005 serta hak-hak sipil dan politik (Sipol) yang diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005. Ke dua konvenan Internasional tersebut merupakan bagian dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia. Secara keseluruhan baik hak Ekosob maupun Sipol telah diatur dalam regulasi nasional seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia serta diatur juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.

HAM memiliki hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Hal ini mengingat model pemenuhannya yang berbeda. Hak ekosob merupakan hak positif (positive rights). Negara melalui aparaturnya perlu peran besar dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Seperti hak warga negara atas kesejahteraan, pendidikan, perumahan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, terbebas dari kelaparan, lingkungan yang sehat dan lain sebagainya. Jika masih banyak warga negara dilanda kelaparan, lapangan pekerjaan yang sempit, banyak anak-anak tidak bersekolah/putus sekolah, lingkungan yang tidak sehat, kesehatan warga negara yang tidak terjamin, maka negara telah melakukan pelanggaran hak-hak Ekosob. Aparatur negara yang merupakan action person untuk mewujudkan cita-cita negara telah gagal dalam penyelenggaraan negara.

Sedangkan negative rights dapat kita lihat pada hak-hak sipil dan politik (Sipol). Dalam negative rights, negara dalam pemenuhannya haruslah bertindak pasif. Hal ini berbeda dengan hak-hak ekosob dimana negara harus bertindak aktif. Misalnya hak-hak warga negara untuk berorganisasi dan mendirikan serikat, hak ikut serta dalam urusan penyelenggaraan publik, hak untuk berpendapat baik lisan maupun tulisan, hak tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, hak tidak diperlakukan atas penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan martabat, hak berkumpul yang bersifat damai, hak untuk tidak dihukum karena tidak ada dasar hukum, hak tidak dipenjara karena seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban kontraktualnya, hak tidak diperlakukan asas retroaktif dalam perundang-undangan pidana dan lain sebagainya. Secara terperinci telah termaktub dalam Konvenan Internasional Hak-hak sipil dan politik.

Terhadap hak Sipol, negara tidak dibenarkan terlalu ikut campur karena ketika negara terlalu ikut campur maka akan berpotensi terlanggarnya hak-hak tersebut. Misalnya mematai-matai setiap warga negara yang melakukan dan menyelenggarakan diskusi dan seminar, mencurigai orang untuk berkumpul, melakukan penyiksaan, menangkap dan menahan orang yang bersalah dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana, merendahkan martabat tersangka, menghalang-halangi warga negara untuk mengkritisi kebijakan pemerintahan, mengahalang-halangi warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan lain sebagainya. Agar terjaminnya hak-hak Sipol, aparatur negara tidak perlu ikut campur tangan yang berlebihan atau dengan kata lain harus bertindak pasif. Aparatur negara hanya perlu memastikan saja agar hak-hak ini terjamin dan terselenggara dengan baik.

Tidak ada komentar: